Sejak ditandatangi pada tanggal 4/11/2004, Pemerintah RI bersama negara-negara Asean menandatangani Framework
Agreement on Comprehensive Economic Co-operation between the
Association of South East Asian Nations and the People’s Republic of
China. Penandatangan inilah yang melandasi ACFTA yang efektif diberlakukan pada Januari 2010 lalu.
Dampak ACFTA
Dengan kesepakatan ini, sejak Januari 2010 lalu sebanyak 83 persen dari 8738 produk impor China bebas masuk ke pasar Indonesia tanpa bea masuk sepeserpun. Pertanyaannya, apakah ACFTA itu berdampak positif bagi perekonomian Indonesia?
Dalam data BPS, Indonesia untuk pertama kalinya mencetak surplus
perdagangan dengan China pada Oktober 2011 sebesar US$ 106 juta.
Sementara total surplus perdagangan Indonesia pada Oktober 2011 mencapai
US$ 1,15 miliar. Dengan kesepakatan ini, sejak Januari 2010 lalu sebanyak 83 persen dari 8738 produk impor China bebas masuk ke pasar Indonesia tanpa bea masuk sepeserpun. Pertanyaannya, apakah ACFTA itu berdampak positif bagi perekonomian Indonesia?
Nilai impor dari China mencapai US$ 2,134 miliar, sementara ekspor
Indonesia ke China pada Oktober 2011 mencapai US$ 2,241 miliar. Nilai
ekspor tersebut masih didominasi bahan bakar mineral sebesar US$ 21,99
miliar dan lemak dan minyak hewan/nabati US$ 17,31 miliar.
Nilai ini tentu bukan menjadi patokan utama. Sebab, pemain industri
bahan bakar mineral adalah perusahaan skala besar dan bahkan dimiliki
pemerintah. Sehingga, upaya mendorong surplus perdagangan boleh jadi
bukan disebabkan oleh faktor ekonomi seperti kenaikan produktivitas dan
peningkatan daya saing, tetapi lebih karena faktor politik. Pada
faktanya, neraca perdagangan nonmigas Indonesia dengan China kembali
defisit pada November 2011.
Apalagi, memasuki semester kedua tahun 2011 terjadi trend penguatan
nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya dolar Amerika
Serikat (AS). Sehingga, penguatan nilai tukar itu bisa menjadi pemicu
importir memasukkan barang-barang dari luar negeri. Karena itu,
pernyataan bahagia bahwa surplus perdagangan Indonesia-China disebabkan
oleh kinerja ekonomi adalah sesuatu yang ceroboh.
Sebab itu, membaca data secara agregat memang bisa membuat kita
‘aduhai’ terlelap. Padahal, jika neraca perdagangan itu dilihat secara
sektoral, terdapat sektor-sektor ekonomi yang menderita karena desakan
impor.
Salah satu industri terdampak adalah mainan anak-anak. Industri ini
terus tertekan sebagai akibat dari nilai impor dari China yang terus
melonjak. Catatan Asosiasi Penggiat Mainan Edukatif dan Tradisional
Indonesia (Apmenti) menyatakan, sekitar 80-90% impor mainan berasal dari
China.
Pada 2011, realisasi impor mainan selama 10 bulan di 2011 mencapai
US$ 60,237 juta. Melonjak 30,7% dibanding periode yang sama tahun lalu
yang hanya mencapai US$ 46,08 juta.
Tingginya nilai impor ini tentu terkait dengan kurangnya bahan baku,
pasokan komponen, ketidakstabilan dan mahalnya ongkos energi, serta
kesulitan permodalan. Kondisi ini kemudian memaksa produsen mainan untuk
mengurangi produksi mainannya. Pengusaha mainan akhirnya lebih memilih
mengimpor ketimbang memproduksi sendiri.
Indikasi Kartel
Namun demikian, praktik impor ini terindikasi tidak sehat. Menurut catatan Kemenperin, ditemukan indikasi tindakan dumping pada 38 produk yang diimpor dari China melalui skema ACFTA.
Lima diantaranya adalah elektronik, furnitur, logam, tekstil dan produk tekstil, serta mainan anak-anak. Dalam kaitan itu, sampai dengan Oktober 2011 Kemendag telah mencabut ijin 215 importir terdaftar (IT) mainan anak-anak.
Namun demikian, praktik impor ini terindikasi tidak sehat. Menurut catatan Kemenperin, ditemukan indikasi tindakan dumping pada 38 produk yang diimpor dari China melalui skema ACFTA.
Lima diantaranya adalah elektronik, furnitur, logam, tekstil dan produk tekstil, serta mainan anak-anak. Dalam kaitan itu, sampai dengan Oktober 2011 Kemendag telah mencabut ijin 215 importir terdaftar (IT) mainan anak-anak.
Selain itu, impor mainan juga terindikasi praktik kartel. Indikasi
ini semakin kuat karena pola perdagangan internasional umumnya
menggunakan pola rantai penawaran (supply chain).
Sistem ini menghubungkan mata rantai, dari sejak agen sampai rak-rak
di pasar tanpa ada titik-titik penjualan. Artinya, mulai produksi,
perdagangan, pengolahan hingga ritel tidak hanya terindustrialisasi dan
mengglobal, tetapi juga semakin terkonsentrasi di tangan segelintir
korporasi multinasional (MNCs), termasuk asosiasi-asosiasi perdagangan.
Hasil olah data membuktikan, nilai elastisitas silang mainan China
dengan mainan Indonesia adalah 0,85%. Mainan buatan China delapan kali
lebih diminati dibanding buatan Indonesia.
Itu artinya, selera konsumen terhadap mainan buatan China lebih
tinggi jika dibandingkan dengan selera terhadap mainan buatan Indonesia.
Dalam konteks ini, produk mainan Indonesia adalah barang subtitusi.
Sebab itu, tidak ada perubahan signifikan dalam permintaan mainan buatan Indonesia ketika harganya turun. Kenaikan harga satu rupiah hanya menyebabkan permintaan mainan Indonesia menurun sebesar 0,04%.
Makna intuitifnya adalah konsumen akan beralih ke produk mainan China ketika harganya lebih murah. Makanya jangan heran kalau kemudian konsumen ramai-ramai membeli produk mainan China.
Sebab itu, tidak ada perubahan signifikan dalam permintaan mainan buatan Indonesia ketika harganya turun. Kenaikan harga satu rupiah hanya menyebabkan permintaan mainan Indonesia menurun sebesar 0,04%.
Makna intuitifnya adalah konsumen akan beralih ke produk mainan China ketika harganya lebih murah. Makanya jangan heran kalau kemudian konsumen ramai-ramai membeli produk mainan China.
Kartel termasuk kelompok cara berdagang tak sehat. Per definisi,
kartel adalah perjanjian satu pelaku usaha dengan pelaku usaha
pesaingnya untuk menghilangkan persaingan diantara keduanya. Praktiknya,
kartel bisa dilakukan melalui tiga cara: harga, produksi dan wilayah
pemasaran.
Akibatnya, terciptanya praktik monopoli oleh para pelaku kartel.
Secara makroekonomi kartel mengakibatkan inefisiensi alokasi sumberdaya
dengan munculnya deadweight loss.
Di sisi konsumen, mereka akan kehilangan pilihan harga. Karena itu,
kartel dianggap sebagai dosa terberat pelaku usaha karena tidak saja
merugikan konsumen tapi juga mencederai alokasi sumberdaya yang efisen.
Makanya, kalau tidak ada kebijakan pemihakan, industri mainan dalam
negeri dalam waktu dekat bisa gulung tikar. Hal ini berlaku jika tidak
ada insentif dari pemerintah untuk dapat meningkatkan daya saing dan
melindungi produsen mainan dalam negeri.
Tindakan KPPU
Pertanyaannya kemudian, apa tindakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai the last resort bagi pelaku usaha dan konsumen di Indonesia? Tentu, harapannya adalah melakukan tugasnya sebagaimana amanah UU. No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Pertanyaannya kemudian, apa tindakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai the last resort bagi pelaku usaha dan konsumen di Indonesia? Tentu, harapannya adalah melakukan tugasnya sebagaimana amanah UU. No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Akhirnya, dari sini pesannya menjadi jelas. Tidak ada cara lain bagi
pemerintah selain bertindak cepat demi meminimalisasi dampak kerusakan
industri mainan di dalam negeri. Upaya jangka pendek seperti pemberian
insentif untuk dapat meningkatkan daya saing dan melindungi industri
tersebut harus dilakukan.
Dalam jangka panjang, pelatihan inovasi serta kreativitas dengan melibatkan teknologi baru harus dilakukan. Termasuk perbaikan kebijakan energi dan infrastruktur.
Dalam jangka panjang, pelatihan inovasi serta kreativitas dengan melibatkan teknologi baru harus dilakukan. Termasuk perbaikan kebijakan energi dan infrastruktur.
Sumber : http://pyandri.wordpress.com