Negara-negara
yang memiliki proses politik yang tidak stabil, sistem pemerintahan yang
dikembangkan dengan tidak baik, dan rakyat yang miskin terbuka untuk
disalahgunakan kaum oportunis yang menjanjikan pembangunan sumber daya atau
infrastruktur dengan cepat, namun tidak mau bersaing dengan terbuka secara
demokratis, mereka yang membawa janji-janji dan memberikan harapan masa depan
yang lebih baik, namun cara mereka untuk menjalankan bisnis politiknya adalah
merusak negerinya dengan korupsi.
Untuk
negara kita sekalipun dalam undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
mulai dari UU No.3 tahun 1971 Jo. UU No.31 tahun 1999 Jo. UU No.20 tahun 2001
yang dalam pertimbangan UU tersebut telah menegaskan bahwa “akibat tindak
pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, juga menghabat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan
nasional yang menuntut efisiensi tinggi”. namun faktanya korupsi telah mewabah
kemana-mana dan telah mengganggu pembangunan nasional. Otonomi Daerah dalam
sistem pemerintahan Indonesia yang dijalankan telah memindahkan korupsi yang
ada di tingkat pusat ke daerah-daerah yang secara kuantitasnya justeru jauh
lebih besar dari yang ada di tingkat pusat.
Korupsi
merupakan kejahatan sosial (extra ordinary crime) yang harus diberantas melalui
proses peradilan tindak pidana korupsi. Agar efektif upaya pemberantasan
korupsi tidak cukup hanya dengan membuat peraturan-peraturan baik yang bersifat
domestik maupun internasional akan tetapi harus terlebih dahulu membangun
orang-orang yang dapat memberantas korupsi itu sendiri, tanpa membangun sumber
daya manusia yang akan memberantas korupsi mustahil korupsi dapat dikurangi
apalagi diberantas.. Dalam theory korupsi dapat terjadi disebabkan oleh 2 (dua)
faktor yang serentak terjadi, yaitu adanya faktor “kesempatan” dan adanya
faktor “rangsangan”, dimana faktor kesempatan selalu berhubungan dengan
lemahnya sistem pengawasan, sedang faktor rangsangan selalu berhubungan dengan
lemahnya sikap mental dan moralitas sumber daya manusianya.
Pendek
kata korupsi sulit terjadi dalam sistem dan kualitas pengawasan yang baik dan
SDM yang yang bermental baik. Namun kalau perbuatan korupsi sudah menjadi
budaya di negeri ini, sementara nilai-nilai budaya itu cenderung abadi, maka
dipastikan korupsi akan sulit untuk diberantas, sekalipun perangkat hukum dan
perundang-undangan tentang pemberantasan korupsi sudah begitu lengkap, namun
korupsi tetap saja terjadi. Mengingat sekarang ini kita telah begitu disibukkan
memerangi dan mengadili tindak pidana korupsi yang terjadi di era pemerintahan
Soeharto tanpa memperhatikan aspek kepentingan rakyat yang crusial, sehingga
biasnya secara politik dan ekonomi telah sangat mengganggu pembangunan nasional
kita, dimana para koruptor di era Soehato tersebut baik di kalangan elit
politik dan elit ekonomi jauh hari sebelumnya telah mengantisipasi dengan
mengamankan aset-aset hasil korupsinya ke luar negeri, sehingga memberantasnya
memerlukan energi yang besar dan waktu yang sangat panjang.
Prioritas
kita dalam pemberantasan korupsi tanpa disadari telah membuat kita lalai dan
lupa mengurusi dengan serius masalah pembangunan bangsa yang telah begitu
semrawut di tengah-tengah kemiskinan yang absolut yang dialami mayoritas bangsa
Indonesia. Demi kepentingan rakyat mau tidak mau sebaiknya kita mundur dulu ke
belakang dan mengkaji ulang kebijakan yang ada. Mulailah dengan menghentikan
perseteruan di kalangan elit politik dan tokoh reformis di negeri ini dengan
tidak saling tuding melakukan korupsi, karena tidak ada gading yang tak retak,
karena kalau diperturutkan mayoritas elit politik di negeri ini dapat menjadi
penghuni penjara.
Oleh
karenanya ciptakan dulu stabilitas politik, ekonomi, dan stabilitas keamanan di
negeri ini. Bangun pendidikan dengan mengedepankan pembangunan akhlak dan
nasionalisme bangsa, arahkan pemberantasan korupsi kepada era pemerintahan
reformasi sekarang ini karena yang sangat perlu dikontrol dan diawasi adalah
pemerintahan yang sekarang ini, sedang untuk para koruptor di era pemeritahan
soeharto perlu ada solusi politis yang membuat mereka tertarik untuk mau
membawa kembali aset-aset yang ada di luar negeri dalam bentuk penanaman modal
atau membangun perusahaannya di Indonesia yang dapat memberikan lapangan
pekerjaan bagi rakyat banyak. Benahi pembangunan nasional yang terlantar yang
dimulai dengan memfungsikan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPENAS)
dengan merumuskan pembangunan nasional dalam Rencana Pembanguna Lima Tahunan
(REPELITA) agar pembangunan tersebut dapat dikontrol oleh rakyat banyak dan
dapat diukur sejauh mana suatu era pemerintahan yang lagi berkuasa telah
melakukan permbangunan terhadap bangsanya, karena secara jujur yang lebih
dibutuhkan rakyat sekarang ini adalah cukupnya sandang, pangan dan papan, serta
adanya rasa aman berusaha dalam kehidupan sehari-hari ketimbang janji-janji
politik melulu ditengah-tengah prahara dan ketidakpastian masa depan !.
Sumber : www.kantorhukum-lhs.com